Ironi di Balik Program Pencegahan Anak Putus Sekolah:…

Ironi di Balik Program Pencegahan Anak Putus Sekolah:...

https://www.koransinarpagijuara.com/wp-content/uploads/2025/06/asep-tapip.jpg

Oleh: Asep Tapip Yani

Dosen UMIBA Jakarta

“Sekolah bukan hanya tempat menampung anak, tapi tempat membentuk manusia.”
—Catatan kecil seorang guru

“Mereka semua bisa masuk sekolah, tapi apakah benar-benar bisa belajar?”
—Catatan kecil dari ruang kelas yang sesak

Pemerintah mendorong program pencegahan anak putus sekolah secara masif. Tujuannya mulia: memastikan tidak ada anak usia sekolah yang tercecer dari akses pendidikan. Namun, di balik niat baik ini, mengendap sebuah persoalan mendesak yang muncul di permukaan: rombongan belajar (rombel) yang membengkak, khususnya di sekolah negeri.

Di beberapa daerah, kebijakan ini berdampak pada penerimaan siswa baru hingga 50 orang per kelas. Padahal, ruang kelas yang tersedia tidak mengalami perubahan atau penyesuaian. Siswa dijejalkan dalam ruang sempit, ventilasi terbatas, dan interaksi pembelajaran menjadi pasif dan kaku. Akibatnya, pembelajaran menjadi sumpek baik secara harfiah maupun pedagogis. Yang lebih mengkhawatirkan: mutu pendidikan perlahan tergerus, mutu pembelajaran tercekik.

Akses tanpa Kualitas

Tidak ada yang salah dengan upaya memastikan semua anak bisa sekolah. Tetapi menjadi keliru ketika program ini hanya dimaknai sebatas “masuk sekolah = beres masalah”. Padahal, kualitas belajar jauh lebih penting dari sekadar angka partisipasi.

Rasio ideal siswa per guru dalam kelas, menurut banyak literatur pendidikan, berkisar antara 20–30 siswa. Lebih dari itu, efektivitas pembelajaran menurun tajam. Guru tidak mampu memberi atensi personal, pembelajaran menjadi monolog, dan umpan balik nyaris mustahil diberikan secara bermakna. Dengan 50 siswa dalam satu kelas, apa yang masih bisa disebut pembelajaran yang humanis dan transformatif?

Sarpras yang Tidak Siap

Permendikbud Nomor 24 Tahun 2007 menetapkan standar minimal ruang kelas maksimal 32 siswa. Bila kini diminta menampung 50 siswa, maka sekolah berada dalam kondisi darurat infrastruktur. Kelas menjadi sumpek, sirkulasi udara buruk, dan suasana belajar tidak kondusif. Risiko keamanan dan kesehatan pun meningkat.

Sayangnya, pengadaan ruang kelas tambahan, perekrutan guru, dan penambahan fasilitas belum berjalan seiring. Yang bergerak cepat hanya kebijakan menerima sebanyak mungkin siswa baru. Akibatnya, sekolah-sekolah negeri menjadi seperti kantong darurat, menampung limpahan yang seharusnya ditata secara sistematis.

Beban Guru, Beban Bangsa

Guru tentu berada di garis depan. Mereka dituntut menjamin mutu pembelajaran dalam kondisi yang tidak ideal. Beban mengajar, koreksi tugas, hingga tanggung jawab pembentukan karakter dijalankan dengan tekanan tinggi. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu kelelahan mental (burnout), penurunan kualitas layanan, dan potensi turunnya motivasi kerja.

Lebih dari itu, relasi personal antara guru dan murid, yang menjadi jantung dari proses pendidikan bermakna, ikut terdegradasi. Pendidikan menjadi birokratis dan impersonal. Dalam jangka panjang, ini bisa mengancam kualitas tenaga pendidik. Guru yang stres dan lelah emosional lebih rentan bersikap keras, apatis, atau pasrah terhadap pembelajaran yang stagnan.

Mutu Pendidikan Menurun: Pembelajaran Tak Lagi Bermakna

Pembelajaran yang ideal adalah yang melibatkan siswa secara aktif, memungkinkan dialog dan pemikiran kritis. Tapi, dalam kelas berisi 50 siswa, pembelajaran seringkali berubah menjadi monolog sepihak. Guru ceramah, siswa mencatat. Tak ada ruang untuk diskusi, refleksi, apalagi pembelajaran kontekstual.

Sebagian siswa yang butuh perhatian lebih, misalnya mereka yang berlatar belakang ekonomi sulit atau berasal dari keluarga disfungsional, akhirnya luput dari pantauan. Yang tadinya ingin dicegah putus sekolah, justru bisa kehilangan semangat dan makna belajar.

Jangan Korbankan Mutu demi Kuantitas

Pemerintah mesti berani meninjau ulang skema implementasi program pencegahan putus sekolah ini. Penambahan kuota siswa harus dibarengi:

  • Penambahan ruang kelas
  • Penambahan guru (baik CPNS maupun PPPK)
  • Pemerataan distribusi siswa melalui zonasi yang realistis dan berbasis data daya tampung

Selain sekolah-sekolah negeri yang dituntut “tahan banting” menyesuaikan diri dengan tekanan angka tanpa daya dukung memadai, masyarakat juga perlu dilibatkan untuk memahami bahwa pendidikan bukan sekadar soal “diterima atau tidak”, tapi juga bagaimana anak bisa belajar dengan bermartabat. Bila perlu, alokasi anggaran infrastruktur pendidikan didorong lebih progresif.

Pelajaran dari Negara Lain

Beberapa negara menghadapi tantangan serupa, tapi menanganinya dengan pendekatan sistemik.

Vietnam, misalnya, saat mendorong akses universal ke pendidikan dasar, meningkatkan anggaran infrastruktur dan melatih lebih banyak guru sebagai langkah awal, bukan belakangan.

Finlandia, negara dengan sistem pendidikan yang dipuji dunia, justru membatasi jumlah siswa per kelas maksimum 20 orang agar proses pembelajaran tetap personal dan efektif, meskipun akses pendidikan dijamin penuh.

Solusi: Dari Kebijakan Respon ke Kebijakan Rencana

  1. Evaluasi Ulang Daya Tampung Nasional
    Bukan hanya berdasarkan jumlah rombel, tapi berdasarkan sarana riil, luas kelas, jumlah guru, dan rasio guru-siswa aktual.
  2. Zonasi Cerdas dan Berbasis Data
    Zonasi perlu ditata ulang berbasis data spasial dan sebaran populasi siswa, bukan sekadar jarak. Redistribusi peserta didik harus dibarengi intervensi bagi sekolah pinggiran agar lebih diminati.
  3. Penambahan Ruang Kelas dan Guru Baru
    Pemerintah daerah dan pusat harus bersinergi menambah ruang kelas, tidak hanya mengandalkan Dana BOS atau inisiatif sekolah. Rekrutmen guru juga perlu dipercepat untuk menjaga rasio ideal.
  4. Fleksibilitas Kurikulum dan Model Kelas Besar
    Dalam jangka pendek, sekolah bisa dibekali pelatihan team teaching, blended learning, dan pembelajaran berbasis proyek sebagai strategi mitigasi kelas besar.

Kesimpulan: Pendidikan Bukan Gudang, tapi Taman Tumbuh

Semua anak memang berhak mendapat akses pendidikan. Namun, tidak cukup sampai di situ. Anak-anak juga berhak mendapatkan pengalaman belajar yang layak, ruang yang manusiawi, dan relasi yang membangun juga memuliakan. Sekolah bukanlah tempat menampung sebanyak-banyaknya anak. Sekolah adalah tempat menumbuhkan harapan, karakter, dan cita-cita. Ketika jumlah rombel membengkak tanpa kesiapan yang matang, yang terjadi bukan perluasan akses, tapi penurunan kualitas dan semangat belajar.

Jika kita hanya berfokus pada kuantitas dan membiarkan kualitas tercecer, maka program pencegahan putus sekolah bisa saja berubah menjadi jebakan putus harapan belajar. Akan menjadi tragis bila di masa depan, program pencegahan anak putus sekolah justru menjadi penyebab baru dari fenomena putus harapan belajar.

“Membuka akses pendidikan tanpa membangun kualitasnya, sama saja seperti mengajak anak masuk kelas hanya untuk duduk, diam, dan dilupakan.”

30 Menit Ba’da Magrib Bersama Rektor, Hj. Ashfa Khoirun Nisa`, S.Pd.I, M.S.I Bahas Perkembangan Ekonomi Syariah

Post Views: 183

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *