https://www.koransinarpagijuara.com/wp-content/uploads/2025/08/IMG-20250819-WA0002.jpg
Oleh: Heni Ruslaeni
PT Bandung Daya Sentosa (BDS), BUMD milik Pemkab Bandung, diduga terlibat kasus penipuan dalam pengadaan Boneless Dada Ayam (BLD) tahun 2024. Vendor (pihak ketiga) mengaku mengalami kerugian karena suplai tidak sesuai kesepakatan/kontrak. Sejumlah pengusaha melaporkan dugaan penipuan ini ke Polda Jabar.
Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung mendalami perkara, bahkan mencium adanya indikasi tindak pidana korupsi, bukan sekadar penipuan biasa. Kerugian bukan hanya ke vendor, tetapi bisa melibatkan kerugian keuangan negara/daerah (karena BUMD menggunakan dana publik).
Kasus bisa masuk ke Penipuan (Pasal 378 KUHP) jika ada unsur tipu daya. Jika terbukti ada kerugian negara, maka bisa naik ke Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Karena BDS adalah BUMD, maka setiap kerugian yang bersumber dari APBD termasuk kerugian negara. Kasus ini menunjukkan lemahnya transparansi dan pengawasan pada BUMD. Potensi kerugian APBD merugikan masyarakat luas. Kasus ini berpotensi menyeret pejabat daerah yang terlibat dalam pengawasan BUMD. Efeknya bisa menurunkan kepercayaan publik pada program pengadaan pangan yang dijalankan pemerintah daerah.
Dalam sistem saat ini terkait kasus dugaan korupsi BUMD Bandung ini mencerminkan kelemahan dalam Proses hukum yang lambat dan rumit, dan tidak fokus pada pemulihan kerugian masyarakat. Korupsi kadang sulit dibuktikan karena bukti administrasi bisa dimanipulasi. Hukum kadang ringan dibandingkan kerugian negara yang di anggap potensi intervensi politik/birokrasi. Hukuman sering lebih menekankan penjeraan individu, bukan pemulihan kerugian masyarakat/vendor. Potensi “damai di belakang layar” sering terjadi.
Sementara dalam sistem Islam Perspektif Ekonomi & Hukum Syariah, jual beli dan kontrak harus berdasarkan akad yang sah, tanpa penipuan (gharar/ketidakjelasan, tadlis/penipuan kualitas).
Jika pemerintah (dalam Islam: wilayah/khalifah) mengelola usaha publik, maka wajib transparan karena harta itu termasuk mal al-ummah (harta milik rakyat). Pengelola negara yang melakukan penyelewengan bisa dihukum ta’zir (hukuman sesuai ijtihad hakim) bahkan bisa dicopot dari jabatan.
Dalam sistem Islam, pemulihan hak korban (vendor/masyarakat) lebih diutamakan ketimbang hanya menghukum pelaku. Harta yang dikorupsi/ditipu harus dikembalikan kepada pihak yang berhak. Pejabat yang menyeleweng bisa langsung diberhentikan karena amanah dianggap hilang.
Allah melarang keras penggelapan harta negara (QS. Ali Imran: 161).
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan (menggelapkan) satu jarum atau lebih, maka itu ghulul (korupsi), dan ia akan datang di hari kiamat dengan barang yang digelapkannya.” (HR. Muslim).
Korupsi termasuk ta’zir (hukuman yang ditentukan hakim sesuai tingkat kejahatan). Bisa berupa Penjara, cambuk, pengasingan, penyitaan harta, bahkan hukuman mati jika merugikan besar & mengancam umat. Adapun risywah (suap) dilarang keras, pelakunya dikutuk Rasulullah (HR. Ahmad). Ada lembaga Hisbah yang mengawasi pasar, perdagangan, kontrak, dan mencegah kecurangan.
Khalifah/Amirul Mukminin langsung bertanggung jawab atas pengelolaan harta negara. Khalifah, diawasi masyarakat langsung, harta publik sangat dijaga ketat, pengawasan transparan, dan hukuman tegas untuk mencegah pengulangan. Wallahhu’allam bishwab
Post Views: 64