https://www.koransinarpagijuara.com/wp-content/uploads/2025/07/IMG_20250713_122228.jpg
Oleh: Prima MT Pribadi, Aktivis Poros Indoor
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) patut diapresiasi. Namun, program ambisius ini hanya akan menjadi proyek seremonial belaka jika pelaksanaannya tidak berpijak pada dua hal mendasar: pemberdayaan ekonomi lokal dan kepatuhan terhadap standar operasional yang ketat.
Pentingnya Petani dan UMKM Lokal dalam Rantai Pasok
Dalam pandangan saya, semestinya setiap dapur MBG di daerah—baik milik yayasan maupun mitra pemerintah—wajib mengandalkan bahan baku dari petani lokal dan pelaku usaha mikro. Ini bukan semata soal efisiensi logistik atau penghematan biaya transportasi, tetapi lebih dari itu, ini adalah strategi kemandirian pangan daerah.
Koperasi petani, kelompok nelayan, hingga peternak kecil harus mendapat tempat dalam ekosistem MBG. “Kalau negara hadir untuk gizi anak bangsa, negara juga harus hadir memperkuat ekonomi rakyat di sekitarnya,” tegas saya. Menurut Petunjuk Teknis MBG 2025, strategi ekosistem MBG memang mendorong belanja bahan pokok dari Bumdes dan koperasi. Tapi dalam praktiknya, pelibatan itu masih minim.
Kualitas Gizi Tidak Boleh Ditukar Roti dan Susu Kotak
Saya juga mengingatkan bahwa kualitas makanan MBG tidak boleh dikompromikan. Banyak laporan di lapangan yang menyebut penggantian makan siang bergizi dengan makanan instan seperti susu kotak dan roti kemasan. Ini jelas menyimpang dari standar gizi yang ditetapkan Juknis MBG 2025, yaitu 30–35% Angka Kecukupan Gizi (AKG) per porsi makan siang.
“Program ini bukan proyek sembako atau konsumsi darurat. Kita bicara soal masa depan kecerdasan anak bangsa. Gula tinggi pada roti kemasan bisa jadi bom waktu kesehatan,” ujar saya. Sebagai aktivis dan warga, saya merasa penting mengingatkan para pengelola dapur dan bidang gizi di tiap SPPG agar tidak bermain-main dengan menu.
Patuhi SOP, Juklak, dan Juknis: Tidak Ada Tawar-Menawar
Sebagai aktivis yang mengikuti regulasi, saya menekankan perlunya pengawasan ketat agar pelaksanaan MBG benar-benar mengikuti SOP, juklak, dan juknis. Tidak boleh ada kreativitas tanpa dasar. Di dalam dokumen resmi MBG, telah diatur rinci tentang standar menu, porsi, dan proses distribusi. Bahkan, lima kunci keamanan pangan dari WHO harus diterapkan, mulai dari kebersihan dapur hingga alat makan.
Bidang gizi harus memastikan bahwa makanan yang diterima sekolah sudah memenuhi komposisi seimbang: ada karbohidrat, protein, sayur, dan buah. “Tak boleh hanya nasi dan mie goreng,” kritik saya. Pengawasan ini bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi untuk memastikan anggaran negara benar-benar digunakan secara efektif untuk kesehatan anak-anak kita.
MBG Bisa Jadi Revolusi Sosial, Bila Dilaksanakan dengan Benar
Program MBG bisa menjadi tonggak perubahan sosial. Ia bisa memutus rantai kemiskinan gizi, membuka lapangan kerja di sektor pertanian dan logistik lokal, serta mendekatkan anak-anak pada makanan sehat berbasis lokal. Tapi semuanya kembali pada komitmen pelaksana di lapangan.
Sebagai warga negara yang peduli, saya mengajak semua elemen—mulai dari kepala daerah, pengurus yayasan penerima bantuan, hingga orang tua siswa—untuk aktif mengawal program ini. Karena MBG bukan hanya tentang makan, tapi tentang keadilan sosial yang dihidangkan di atas piring makan anak-anak kita.
Post Views: 754